Kartu Sakti Jokowi Diinterpelasi Karena Hanya Akal-akalan
JAKARTA - Sekretaris
Fraksi Partai Golkar DPR, Bambang Soesatyo mengatakan, alasan DPR perlu
menggunakan hak interpelasi terkait kartu sakti Presiden Jokowi, karena
dewan mengendus adanya upaya akal-akalan dan pembohongan publik.
Ia menyebut, para menteri Kabinet Kerja
tampaknya tidak bisa membedakan antara Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan
Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS). Sehingga ada menteri yang
mengatakan KIS adalah pergantian nama dari BPJS dan ada juga yang
mengatakan bahwa BPJS adalah pelaksana dari KIS.
"Jokowi dalam janji kampanyenya
mengatakan KIS adalah jaminan kesehatan untuk membebaskan seluruh biaya
pelayanan kesehatan masyarakat di kelas III, rumah sakit. Tanpa pungutan
iuran dan tanpa co-sharing. Semua dibayar oleh negara. Pertanyaannya,
darimana pos penganggarannya diambil? Sebab sampai saat ini belum ada
pembahasan di DPR? Ini jelas pelanggaran UU APBN," kata Wakil Bendahara
Umum DPP Golkar ini dalam keterang persnya, Kamis (13/11).
Sementara itu, lanju Bambang, BPJS
adalah asuransi kesehatan yang mewajibkan seluruh rakyat bayar iuran dan
co-sharing. Ada 86,4 juta jiwa dibayar negara sebagai penerima bantuan
iuran (PBI) dari pemerintah. Buruh, PNS dan TNI/Polri dipotong upah dan
gajinya dan sisanya membayar langsung lewat iuran bulanan sebesar Rp
25.500/bulan untuk kelas III, Rp 35,500 untuk kelas II, Rp 55,500 untuk
kelas I dan lebih tinggi lagi untuk VIP.
"Jadi, KIS dan BPJS jelas berbeda.
Tujuan KIS adalah melayani sementara BPJS tujuannya adalah menarik dan
mengambil semua dana ASKES, JAMSOSTEK, ASABRI dan TASPEN. BPJS juga
mengambil dana APBN, gaji dan upah buruh, PNS dan TNI/Polri dan iuran
bulanan dari masyarakat," terangnya.
Jelas, KIS bukan BPJS dan KIS bukan
bagian dari BPJS. Kalau KIS dikatakan sama atau menjadi bagian dari
BPJS, berarti ada upaya pembohongan publik. Pembohongan publik ini makin
terang menderang ketika hampir semua pejabat pemerintah mengatakan KIS
sama saja dengan BPJS. Yang beda hanya kartunya. Ini jelas keliru. Lebih
parah lagi, ada menteri mengatakan, KIS adalah jelmaan dari Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dan tetap akan dijalankan oleh Badan Pelayanan
Jaminan Sosial (BPJS).
"DPR perlu penjelasan Presiden sekaligus
mengingatkan, jangan sampai ada UU yang dilanggar dan rakyat jangan
dibodoh-bodohi dengan program KIS. DPR menginginkan setiap masyarakat
miskin atau tidak mampu mendapat pelayanan kesehatan yang baik dan
gratis untuk semua penyakit, obat-obatan memadai dan tidak ada biaya
tambahan perawatan (co-sharing). Rumah Sakit untung dan Dokter dibayar
normal," tegas Bambang.
Ia menambahkan, DPR khawatir jika
pemerintah grasa-grusu karena lebih mengedepankan pencitraan dalam
mewujudkan janji-janji kampanye, akan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Misalnya masyarakat pemegang kartu sakti atau KIS itu tidak
mendapat pelayanan seluruh penyakit dan harus membayar lagi serta
kualitas obat-obatan yang buruk. DPR juga khawatir pembayaran yang tidak
lancar (karenabelum dianggarkan dalam APBN), dapat menyebabkan Rumah
Sakit lama-lama bangkrut dan dokter yang dibayar tidak wajar.
"Lebih dari itu, selain mempersoalkan
KIS, Fraksi Partai Golkar juga akan mengagas merevisi UU BPJS yang
dalam praktiknya cenderung menjadi alat kapitalis yang hanya mengeruk
modal murah dari masyarakat, namun sangat jauh dari melayani
masyarakat," pungkas Bambang. (rmo/jpnn)
Label: economic, politik, Serba Serbi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda